BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
Islam adalah Pendidikan yang sangat ideal, Pendidikan islam tumbuh dan berkembang
sejalan dengan adanya dakwah islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan
dengan itu pula pendidikan islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan
dengan upaya pembaharuan yang dilakukan terus menerus pasca generasi Nabi,
sehingga dalam perjalanan selanjutnya, pendidikan islam terus mengalami
perubahan baik dari segi kurikulum maupun dari segi lembaga pendidikan islam yang
dimaksud.
Penelitian
merupakan salah satu cara melakuakan usaha-usaha perbaikan dan pembaharuan.
Ilmu tidak akan bertambah maju jika tanpa adanya penelitian dan pembaharuan.
Upaya penelitian tersebut sebenarnya telah dilakukan oleh para ulama masa lalu,
termasuk masalah pendidikan. Upaya penelusuran terhadap pemikiran para tokoh berkaitan
dengan pendidikan, khususnya pendidikan islam.
Dalam
makalah ini kami paparkan pemikiran beberapa tokoh muslim tentang pendidikan
islam. Dalam mengenal tokoh-tokoh pendidikan islam di Indonesia, maka kita akan
mengenal beberapa nama tokoh yang terkenal. Diantara para tokoh tersebut,
sangat andil besar dalam memperbaharui konsep dan sistem pendidikan di
Indonesia khususnya mengenai pendidikan Islam. Diantara mereka, ada yang
merubah atau mengabungkan konsep pendidikan Kolonial Belanda (modern) dengan
konsep pendidikan pesantren (tradisional), dimana menambahkan mata pelajaran
yang tidak hanya pelajaran agama saja, tetapi juga mata pelajaran umum.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
- Siapakah tokoh-tokoh pendidikan Islam masa klasik di luar Indonesia
- Siapakah tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
Tulisan
ini bertujuan untuk:
- Khasanah keilmuan.
- Sebagai bahan perbandingan pendapat antar tokoh pendidikan Islam dalam berbagai masa.
-
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan
Islam berkembang dengan pesat sejak dari peninggalan Rasulullah hingga sampai
pada masa kita saat ini. Banyak para tokoh Pendidikan Islam yang tampil sebagai
pembaharu, dalam tulisan ini dibedakan menjadi dua generasi, yaitu: Pertama
generasi klasik terdiri dari tokoh di luar Indonesia, Kedua generasi modern
dikhususkan dalam Negara Indonesia. Berikut akan dijelaskan secara mendalam.
A.
Generasi
Klasik
- Imam Ghazali
a.
Riwayat
Hidup
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al- Ghozali. Ia dilahirkan di Thus,
sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H / 1058 M.[1]
Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita,
dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. [2]
Al-Ghazali
pada masa kanak- kanak belajar fiqh kepada Ahmad ibn Muhammad ar-Radzakani,
kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada Imam Abu Nashr al-Ismaili.
Setelah itu ia menetap lagi di Thus untuk mengulang- ulang pelajaran yang diperolehnya
dari Jurjan.[3]
b.
Pemikiran
Pendidikan
|
Al-Ghazali
tidak membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti tradisi umum kaum sufi.
Memeng ia pernah menyebutkan bahwa secara etimologi, ada sedikit perbedaan
antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas pemakaian terma Ma’rifah untuk
konsep (tasawuf), dan ‘ilm untuk assent ( tasqiq ). Akan tetapi dalam berbagai
kitabnya, ia sering memakai dua terma itu sebagaiu arti yang sama.[6]
- Ibn Sina
a.
Riwayat
Hidup
Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah.[7]
Di barat populer dengan sebutan Avicenna.[8]
Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M di Afshana, suatu daerah yang terletak di
dekat Bukhara, di kawasan Asia tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan,
Suatu kota termasyhur dikalangan orang- orang Yunani. Diwafatkan di
Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428 H (1037 M) alam usia yang ke 58
tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus besar.[9]
Tampilnya
Ibn sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di dukung oleh tempat
kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagi
pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang luas biasa. Sejarah mencatat, bahwa
Ibn Sina memuylai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya,
Bukhoro.
Pengetahuan
yang pertama kali ia pelajar adalah membaca Al- qur’an. Setelah itu ia
melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir, Fiqh,
Ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil
menghafal Al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang
belum genap sepuluh tahun.[10]
b.
Pemikiran
Pendidikan
Ibnu
Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya
tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, yaitu:
1)
ilmu yang tak kekal
2)
ilmu yang kekal
ilmu
yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan
tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang
teoritis.[11]
Tujuan
pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu :
1)
Diarahkan kepada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang menuju perkembangan yang
sempurna baik perkembangan fisik, intelektual maupun budi pekerti.[12]
2)
Diarahkan pada
upaya dalam rangka mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama di
masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan
dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.[13]
3)
Tujuan pendidikan
yang bersifat keterampilan, yang artinya mencetak tenaga pekerja yang
profesional.[14]
- Ibn khaldun
a.
Riwayat
Hidup
Di
tengah konflik yang terjadi diantara Kerajaan-kerajaan kecil, Kerajaan bani
Abdul Wad Az- zanatiyah terkena musibah dan bencana yang berasal dari Kerajaan
tetangganya, yakni Kerajaan Bani Hafzh yang berada di Tunisia.[15]
Dalam suasana seperti itu ibn Khaldun lahir di Tunisia, awal Ramadhan tahu 732
H, dari kjeluarga besar berbangga dengan nasab Arabnya yang berasal dari
Hadromaut, Yaman.
Ibnu
Khaldun tumbuh dan berkembang sebagai orang yang mencintai ilmu. Pertama-tama
ia menghafal Al-Qur’an lewat bimbingan ayahnya sendiri. Lalu ia mempelajari
ilmu Hadits, ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Bahasa, Sastra, Sejarah, selain mempelajari
Filsafat dan Ilmu Mantiq (logika).
b.
Pemikiran
Pendidikan
Ibnu
Khaldun tidak memberikan defenisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan
gambaran- gambaran secara umum, seperti dikatakan ibnu Khaldun bahwa “barang
siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman,
maksudnya barang siapa yang tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan
sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru
dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan
mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
sepanjang zaman, zaman akan mangajarkannya.”
Dari
rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut priunsip keseimbangan. Dia
ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak.
Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai
Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan islam
yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan
tanpa mengabaikan masalah- masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita
katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan
perinsip-perinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan
moral. Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah
memberikan kesempatan kepada aqal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas.[16]
- Ikhwan As-Shafa
a.
Riwayat
Hidup
Ikhwan
al-Shafa (Persaudaraan) adalah organisasi dari para filsuf Arab Muslim, yang
berpusat di Basrah, Irak yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah
sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun
373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin
spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan
al- Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah buku yang
sangat mereka hormati “ Kalilah wa Dimnah” .[17]
Kemunculan
Ikhwan Al Safa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran
Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran luar Islam, serta untuk
membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan. Organisasi ini sangat
merahasiakan anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia, disebabkan
kekhawatiran akan tindak penguasa waktu itu yang cenderung menindas
gerakan-gerakan yang timbul.[18]
Di
samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa mengklaim dirinya sebagai kelompok
non partisan, objektif, ahli pencita kebenaran, elit intelektual dan solid
kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk menjadi kelompok orang-orang
mu'min yang militant untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.[19]
b.
Pemikiran
Pendidikan
Ikhwan
al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan
pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan
al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah
(harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme.[20]
Dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara
ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap
ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata.
Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak
bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah,
terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.[21]
B.
Generasi
Modren
- KH. Ahmad Dahlan
a.
Riwayat
Hidup
Kyai
Haji Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama Muhammad Darwis. Beliau
dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti
Aminah pada tahun 1285 H (1868 M ). Kyai Haji Abu Bakar adalah khatib di Majid
Agung Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ayahnya Siti Aminah adalah penghulu
besar di Yogyakarta.[22]
Kampung
Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad Darwis dibesarkan merupakan
lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan
hidup Muhammad Darwis di kemudian hari. Ayahnya KH Abu Bakar adalah Khotib
Masjid Agung Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan belajar mengaji sekitar tahun1875 dan
masuk pesantren. Sudah sejak kanak-kanak diberikan pelajaran dan pendidikan
agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada di dalam masyarakat
lingkungannya. Ini menunjukan naluri melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang
diajarkan kepadanya. Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil
otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari belajar kepada
ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya dan iparnya. Ia di didik sendiri
melalui cara pengajian yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang
diajarkan oleh ayahnya.
b.
Pemikiran
Pendidikan
Menurut
KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola
berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam
proses pembangunan ummat.[23]
Menurut
KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk
manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan
paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya. Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:[24]
1)
Pendidikan moral,
akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2)
Pendidikan
individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh
yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan
dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
3)
Pendidikan
kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan
hidup bermasyarakat.
- KH. Hasyim Asy’ari
a.
Riwayat
Hidup
Hasyim
Asy’ari lahir di desa Gedang Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon,
tanggal24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al
Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz
Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan
Sunan Giri.[25]
Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan
raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya
keturunan dari keluarga bangsawan.
Hasyim
Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh
dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari
Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari
Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang alim dan adil, selalu mencari kebenaran,
baikbkebenaran dunia maupun kebenaran akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi
kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan yang hanya diberikan kepada
Hasyim Asy’ari satu- satunya. Bagi ulama lain yang menjabat jabatan tersebut,
tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar melainkan Rais Am. Hal ini karena
ulama lain yang menggantikannya merasa lebih rendah dibandingkan Hasyim Asy’ari.[26]
b.
Pemikiran
Pendidikan
Pola
pemaparan konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab Alim Wa
Muta’allim mengikuti logika induktif, di mana beliau mengwali penjelasannya
langsung dengan mengutip ayat-ayat al-qur’an. Hadits, pendapat para ulama,
syair-syair yang mengadung hikamah.dengan cara ini. K.H. Hasyim Asy’ari memberi
pembaca agar menangkap ma’na tanpa harus dijelaskan dengan bahasa beliau
sendiri. Namun demikaian, ide-ide pemikirannya dapat dilihat dari bagaimana
beliau memaparkan isi kitab karangan beliau.[27]
Tujuan
pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah untuk membentuk masyarakat
yang beretika tinggi(akhlaqul karimah). rumusan ini secara implisit dapat
terbaca dari beberapa hadits dan pendapat ulama yang dikutipnya. Beliau menyetir
sebuah hadits yang berbunyi: “diriwayatkan dari Aisyah r.a. dari Rasulullah SAW
bersabda : kewajiban orang tua terhadapnya adalah membaguskan namanya,
membaguskan ibu susuannya dan membaguskan etikanya.[28]
- K.H. Imam Zarkasyi
a.
Riwayat Hidup
KH.
Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada tanggal 21 Maret
1910, dan meninggal pada tanggal 30 Maret1985 dengan meninggalkan seorang istri
dan 11 orang anak.[29]
Ayahnya
bernama Santausa Annam Bashari berasal dari keluarga elit Jawa yang taat
beragama dan merupakan generasi ketiga dari pimpinan Pondok Gontor Lama dan
generasi kelima dari Pangeran Hadiraja Adipati Anom, putra Sultan Kesepuhan
Cirebon. Sedangkan ibunya adalah keturunan Bupati Suriadiningrat yang terkenal
pada zaman babad Mangkubumen dan Penambangan (Mangkunegara).[30]
Sejak usia kanak-kanak Imam Zarkasyi sudah hidup sebagai anak yatim, karena
saat ia berusia delapan tahun ayahnya meninggal dunia. Tidak lama kemudian
ibunya juga meninggal yaitu pada tahun 1920. Kemudian Imam Zarkasyi mulai
belajar agama (mondok) di Pesantren Joresan. Karena proses belajar di Pesantren
diselenggarakan pada sore hari, maka di pagi harinya ia belajar Sekolah Desa
Nglumpang. Adapun kitab yang diajarkan di Pesantren tersebut diantaranya adalah
Ta’lim al-Muta’allim, al-Sullam, Safinah al-Najah dan al-Taqrib.
- Hamka
a.
Riwayat
Hidup
“Hamka
bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara”. Begitulah kata mantan Perdana Menteri Malaysia,Tun Abdul Rozak. Nama
aslinya ialah Haji Abdul Malik Karim Amrulloh biasa disebut dengan HAMKA yang
merupakan singkatan dari nama panjang beliau.[31]
Beliau lahir di Maninjau,Sumatra Barat pada tanggal 16 Februari 1908 M/ 13
Muharrom 1326 H. Belakangan ia diberikan sebutan Abuya ,yaitu panggilan untuk
orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya yang berarti ayahku atau
orang yang dihormati. Ayahnya adalah Syech Abdul Karim ibn Amrulloh, yang
dikenal dengan Haji Rosul dan merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid ) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada 1906.[32]
Sejak
kecil ia menerima dasar- dasar agama dari sang ayah. Pada usia 6 tahun,ia
dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun, ia dimasukkan ke sekolah
desa dan malamnya ia belajar mengaji al-Qur’an sampai khatam. Beliau Sekolah
Dasar “Maninjau sehingga Darjah Dua” kemudian padausia 10 tahun, ayahnya
mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama“Sumatera Thawalib” di Padang
Panjang. Di situ Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami bahasa Arab.
b.
Pemikiran
Pendidikan
Pendidikan
dalam pandangan Hamka terbagi 2 bagian yaitu:
1)
Pendidikan
jasmani,pendidikan untuk pertumbuhan & kesempurnaan jasmani serta,
2)
Pendidikan
ruhani,pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan
& pengalaman yang didasarkan pada agama.
Keduanya
memiliki kecenderungan untuk berkembang dengan melalui pendidikan, karena
pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan
secara optimal kedua unsur tersebut. Dalam pandangan Islam kedua unsur tersebut
dikenal dengan istilah fitrah. Titik sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan
Islam adalah “fitrah pendidikan tidak saja pada penalaran semata, tetapi juga
akhlakulkarimah”.
Fitrah
setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan &
tunduk mengabdi sebagai kholifah fi al-ardh maupun‘abdulloh. Ketiga unsur
tersebut adalah akal, hati, & pancaindra yang terdapat pada jasad
manusia.Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta
menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.[33]
Tujuan
Pendidikan dalam Pandangan HAMKA adalah “mengenal dan mencari keridhoan Allah,
membangun budi pekerti untuk beraklhlaq mulia” serta “mempersiapkan peserta
didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah- tengah komunitas
sosialnya”.[34]
- Mahmud Yunus
a.
Riwayat
Hidup
Prof.
Dr. H. Mahmud Yunus Dilahirkan di Batu Sangkar pada tanggal 10 Februari 1899
dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Sejak kecil, Mahmud Yunus sudah
memperlihatkan minat dan kecenderungannnya yang kuat untuk memperdalam ilmu
Agama Islam. Ketika berumur 7 tahun, ia belajar membaca al-Qur’an di bawah bimbingan
kakeknya Muhammad Thahir yang dikenal dengan nama Engku Gadang. Setelah
menamatkan al-Qur’an, ia menggantikan kakeknya sebagai guru ngaji al-Qur’an.
Dua tahun kemudian, ia melanjutkan studi ke sekolah desa dan kemudian
melanjutkan studi ke Madras School. Selanjutnya pada tahun 1917, ia bersama
teman-temannya mengajar di Madras School dengan memperbaru isi sitem belajar
mengajar dengan menambah sistem halaqah di samping sistem madrasah dengan
menggunakan kitab- kitab mutakhir.[35]
Dengan
bekal kemampuan bahasa Arab yang sangat baik, padatahun 1924 Mahmud Yunus
melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir. Di sana ia
memperdalam ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Setelah lulus dari Universitas
al-Azhar, ia melanjutkan studinya ke Darul Ulum dan mendapatkan gelar diploma
dengan spesialisasi dalam bidang pendidikan.[36]
b.
Pemikiran
Pendidikan
Menurut
Mahmud Yunus, pendidikan adalah suatu bentuk pengaruh yang terdiri dari ragam
pengaruh yang terpilih berdasarkan tujuan yang dapat membantu anak-anak agar
berkembang secara jasmani, akal dan pikiran.dalam prosesnya ada upaya yang
harus dicapai agar diperoleh hasil yang maksimal dan sempurna, tercapai
kehidupan harmoni secara personal dan sosial.segala bentuk kegiatan yang
dilakukan menjadi lebih sempurna, kokoh, dan lebih bagus bagi masyarakat.[37]
Dari
aspek tujuan pendidikan islam. Berkaitan dengan tujuan pokok pendidikan Islam,
Mahmud Yunus merumuskan dua hal, yaitu untuk kecerdasan perseorangan dan
kecerdasan mengerjakan pekerjaan. Ada yang berpendapat bahwa tujuanpendidikan
Islam ialah mempelajari serta mengetahui ilmu-ilmu agama Islam dan
mengamalkannya, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih,dan lain sebagainya. Tujuan
inilah yang dipaka ioleh madrasah-madrasah di seluruhdunia. Bahkan ada ulama
yang mengharamka nmempelajari ilmu pengetahuan umum seperti Fisika dan Kimia.
Tujuan seperti inilah menurut Mahmud Yunus yang membuat Islam lemah dan tidak
bisa mempertahanan kemerdekaannya.
Tujuan
pendidikan islam menurut Mahmud Yunus ialah menyiapkan anak-anak didik agar
dewasa kelak mereka sanggup dan cakap melakukan pekerjaan dan amalan akhirat ,
sehingga tercipta kebahagiaan dunia dan akhirat.[38]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sesungguhnya pendidika yang kita
laksanakan sekarang ini tidaklah terlepas dari usaha-usaha para tokoh
pendidikan yang dahulu telah merintisnya dengan perjuanga yang sanggat berat
dan tidak mengenal lelah. Oleh karena itu bila kita berbicara tentang
pendidikan yang kini berlangsung tidaklah arif bila tidak membicarakan sosok
dan tokoh pendidikan tersebut, dengan hanya menerima jerih payah dan karya
mereka.
Dari semua
uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan itu sangatlah
penting terutama yang namanya
pendidikan Islam. Yang di mana pendidikan Islam ini sangatlah dianjurkan bahkan
diwajibkan bagi tiap-tiap muslim.
Dalam perkembangannya di seluruh
dunia banyaklah terdapat tokoh-tokoh yang terkemuka dalam dunia pendidikan
khususnya pendidikan Islam ini. Semua mempunyai pemikiran-pemikiran tersendiri,
namun semuanya itu tetaplah mengarah dan mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Selain itu juga ternyata
pendidikan Islam ini, tidak hanya mencakup masalah ke agamawan saja tetapi
semua ilmu pengetahuan terdapat di dalamnya.
B.
Saran-saran
Dalam makalah
ini, kami menyarankan agar pendidikan islam ini hendaknya ditanamkan secara
mendasar dan kokoh kepada diri kita masing-masing, agar sebagai umat Islam kita
menjadi umat yang kokoh dan menyatu serta dapat senantiasa menjawab
perkembangan zaman yang semakin pesat ini.
|
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi.
Muhammad ‘Athiyyah, 2003. At-Tarbiyyah Al- Islamiyyah (terjemah Abdullah Zaki
Al-Kaaf: Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam). Bandung : Pustaka Setia.
Aly. Herry Noer,
2003. Transformasi Otoritas Keagamaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anwar. Saeful,
2007. Filsafai Ilmu Al-Ghazali. Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung:
Pustaka setia.
Asrofie. M. Yusron,
Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan Kepemimpinannya, Fathoni. Khoirul &
Muhamad Zen, 1992. NU Pasca Khittah . Yogyakarta: Media Widia Mandala.
Gaudah. Muhammad
Gharib, 2012. Albaqirah Ulama’ Al- Hadharah wa Al-Islamiyah, (alih bahasa:
Muhyiddin Mas Rida, 147 Ilmuan Terkemuka Dalam Sejarah Islam). Jakarta Timur :
Pustaka Al- Kautsar.
Hizah. Samsul,
2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta. Ciputat Pers.
Ibn Khaldun,
Mukaddimah Ibn Khaldun, (alih bahasa Masturi Irham, Lc Dkk), (Jakarta Timur :
Pustaka Al-Kautsal, 2012
Jalaluddin &
Usman Said , 1999. Filsafat Pendididikan Islam . Jakarta, PT. Raja Grafindo
Kurniawan. Samsul
dan Erwin Makhrus, 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Mohammad. Herry,
2006. Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh di Abad 20. Jakarta: Gema Insani
Press.
Narasi, 2006. 100
Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: PT. Narasi,
Nata. Abuddin,
1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
____________, 003.
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,
cet. III . Jakarta: Raja Grafindo Persada,
____________, 2005.
Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Nizar. Samsul,
2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta:
Ciputat Pers.
_____________,
2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan
Islam. Jakarta : Kencana.
Noer.
Delias, 1985. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Omar A. Farrukh
dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, Ramayulis dan Samsul
Nizar, 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia.
Ridlo, Muhamad
Jawad, 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam. Jogjakarta. PT. Tiara
Wacana .
Sina. Ibn, 1906.
As-Siyasah Fi at Tarbiyah. Mesir; Majalah al- Masyrik. Dalam http://
pustakaazham.blogspot.com/2012/05/konsep-pendidikan-menurut-ibnu-sina.html
________, t. Thn.
Al-Burhan min as-Syifa’. Mesir, al-Mathba’ah al- Aminah. Dalam http://
pustakaazham.blogspot.com/2012/05/konsep-pendidikan- menurut-ibnu-sina.html
Yunus.
Mahmud, ,1990. Pokok- Pokok Pendidikandan Pengajaran . Jakarta:hidakarya.
_______________,
at-Tarbiyah wa at-Ta’lim . Ponorogo: Darussalam PP. Wali Songo
Zar.
Sirajuddin, 2012. Filsat islam. Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[1]
Abuddin Nata, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III .
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 81.
[3]
Ramayulis dan Samsul Nizar,
Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta : Kalam Mulia, 2011), h.271
[5]
Muhammad ‘Athiyyah Al-
Abrasyi, At-Tarbiyyah Al- Islamiyyah (terjemah Abdullah Zaki Al-Kaaf:
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam), (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h.13
[6]
Saeful Anwar, Filsafai Ilmu
Al-Ghazali. Dimensi Ontologi dan Aksiologi. (Bandung : Pustaka setia, 2007), h.
94
[7]
Abuddin Nata, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Op.Cit. h. 59
[8]
Sirajuddin Zar, Filsat islam.
Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.91
[9]
Muhammad Gharib Gaudah, Albaqirah
Ulama’ Al-Hadharah wa Al-Islamiyah, (alih bahasa: Muhyiddin Mas Rida, 147
Ilmuan Terkemuka Dalam Sejarah Islam), (Jakarta Timur : Pustaka Al- Kautsar,
2012), h. 277
[10]
Abuddin Nata, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Op.Cit. h. 61-62
[11]
Jalaluddin & Drs. Usman Said,
Filsafat Pendididikan Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo,1999), h.136
[12]
Ibn Sina, As-Siyasah Fi at Tarbiyah,
(Mesir; Majalah al- Masyrik, 1906), h. 1076. Dalam http:// pustakaazham.blogspot.com/2012/05/konsep-pendidikan-
menurut-ibnu-sina.html
[14]
Ibn. Sina, Al-Burhan min as-Syifa’
, (Mesir, al-Mathba’ah al-Aminah, t. thn), hal. 57. Dalam http:// pustakaazham.blogspot.com/2012/05/konsep-pendidikan-
menurut-ibnu-sina.html
[15]
Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn
Khaldun, (alih bahasa Masturi Irham, Lc Dkk), (Jakarta Timur : Pustaka Al- Kautsal,
2012), h. 3
[16]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam. Op. Cit. h.
[17]
Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif
(editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, 183
[18]
Samsul Hizah, . Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 96
[19]
Muhamad Jawad Ridlo, Tiga Aliran
Utama Teori Pendidikan Islam; (Jogjakarta. PT. Tiara Wacana 2002), h. 146
[20]
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan
Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 182-183
[21]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), h.99
[22]
M. Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad
Dahlan, Pemikiran dan Kepemimpinannya, hlm. 21.
[23]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Op. Cit. h. 107
[24]
Delias Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 204
[25]
Abuddin Nata. Tokoh-tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005), h. 113
[26]
Khoirul Fathoni & Muhamad Zen,
NU Pasca Khittah , (Yogyakarta: Media Widia Mandala, 1992), h.25
[27]
Sarwo Imam Taufiq, Skipsi
Konsep Pendidikan K.H. Hasyim asy’ari Dalam Kitab Adab A’lim Wa Mutaallim Dalam
Perspektif Progresivisme, (Semarang: Tidak ada Penerbit , 2008). 22
[28]
Ibid . h. 26
[29]
Abuddin Nata, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Op.Cit. h.195
[30]
Herry Noer Aly, Transformasi
Otoritas Keagamaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.145
[31]
Narasi, 100 Tokoh yang Mengubah
Indonesia (Yogyakarta: PT. Narasi, 2006), h. 79
[32]
Samsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,
Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.
225
[33]
Syamsul Kurniawan dan Erwin
Makhrus, Op. Cit, hal. 229-230
[34]
HAMKA, Lembaga Hidup. Dalam
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual Pemikiran Hamka Tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 117
[35]
Abuddin Nata. Tokoh-tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia. Op. Cit. h. 57
[36]
Herry Mohammad, Tokoh- Tokoh Islam
yang berpengaruh di Abad 20 (Jakarta: Gema Insani Press, 2006) h. 86
[37]
Mahmud Yunus, at-Tarbiyah wa
at-Ta’lim , (Ponorogo: Darussalam PP. Wali Songo), 12
[38]
Mahmud Yunus, Pokok- Pokok
Pendidikandan Pengajaran (Jakarta:hidakarya,1990) h. 11-19 cet. III